Beranda | Artikel
Wasiat Ibnu Masud ke 4
Senin, 5 Juli 2010

Berkata Ibnu Mas’ud, سأقول فيها بجهد رأيي فإن كان صوابا فمن الله وحده وإن كان خطأ فمني ومن الشيطان والله ورسوله بريء ((Aku akan berkata pada permasalahan ini dengan sekuat ijtihad pendapatku, jika benar maka hal itu semata-mata dari Allah dan jika salah maka hal itu dariku dan dari syaithon, dan Allah dan RasulNya berlepas diri))[1]

Ibnu Mas’ud jelas dalam wasiatnya di atas menunjukan bahwa beliau tidak bisa memastikan bahwa pendapatnya adalah benar, namun ia kembalikan kepada Allah dan RasulNya, jika pendapatnya itu benar maka kebenaran itu semata-semata datangnya dari Allah, dan jika salah maka itu semata-mata hanyalah pendapat beliau. Beliau mengucapkan hal ini tatkala beliau menghadapi permasalahan yang beliau tidak menemukan dalil dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi r, karena patokan kebenaran kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah.

Beliau berkata

فإن أتاه أمر ليس في كتاب الله ولم يقض به رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ولم يقض به الصالحون فليجتهد رأيه ولا يقولن أحدكم أني أخاف وإني أرى فإن الحلال بين والحرام بين وبين ذلك أمور مشتبهة فدع ما يريبك إلى ما لا يريبك

((Jika ia mendapati permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan juga tidak diputuskan hukumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang-orang sholeh maka hendaknya ia berijtihad dengan pendapatnya dan janganlah salah seorang dari kalian berkata “Sesungguhnya aku takut…”, “Sesungguhnya menurutku…” karena yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang samar maka hendaknya ia meninggalkan apa yang ia ragukan kepada apa yang ia tidak ragukan))[2]

Berkata Ibnu Hajar, “Hanyalah digunakan pendapat jika tidak ada dalil (dari Al-Qur’an atau As-Sunnah), dan inilah yang diisyaratkan oleh Imam Asy-Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih hingga Imam Ahmad bin Hanbal beliau berkata, “Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata, القياس عند الضرورة “Qiyas digunakan tatkala darurat”, namun meskipun demikian maka orang yang berijtihad dengan pendapatnya janganlah ia merasa yakin bahwa pendapatnya tersebut benar sesuai dengan yang dikehendaki namun ia hanyalah berusaha sekuat mungkin agar mendapatkan pahala dari Allah meskipun ia salah”[3]

Hal ini jelas merupakan bantahan kepada orang-orang yang mengagungkan akal mereka yang tatkala mereka menghadapi permasalahan agama maka merekapun segera menggunakan akal mereka dan meninggalkan Al-Qur’an, terlebih lagi meninggalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menafsirkan Al-Qur’an dangan akal mereka bahkan sebagian mereka berani mengedepankan pendapat mereka di atas pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terutama muncul pada orang-orang yang jauh dari sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar bin Al-Khotthob telah memperingatkan kita dari bahaya orang-orang seperti ini, beliau berkata:

إياكم وأصحاب الرأي فإنهم أعداء السنن أعيتهم الأحاديث أن يحفظوها فقالوا بالرأى فضلوا وأضلوا

“Waspadalah kalian terhadap orang-orang yang suka menggunakan pendapat mereka karena mereka adalah musuh-musuh sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak mampu untuk menghapalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka  merekapun berpendapat dengan akal mereka maka jadilah mereka sesat dan menyesatkan”[4]

Ibnu Hajar berkata, “Yang nampak dalam atsar Umar ini bahwasanya beliau mencela orang yang berpendapat dengan aklanya padahal ada dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia lalai dari menelaah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tentunya dicela dan lebih utama untuk dicela orang yang telah mengetahui dalil kemudian ia beramal dengan menentang dalil tersebut dengan pendapatnya dan ia berusaha untuk menolak hadits tersebut dengan menta’wilnya” [5]

Apakah mereka lupa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya, namun melainkan wahyu dari Allah??, Allah berfirman:

﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىمَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى﴾ (لنجم:1-4)

Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. 53:1-4)

﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)

Apa yang datang dari Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)

Oleh karena itu diantara keimanan yang sangat urgen adalah meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ma’sum (terjaga) dari kedustaan dan kebohongan, yang konsekuensi dari hari hal ini adalah pembenaran kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik khabar berita tentang masa silam, masa sekarang, ataupun berita di masa mendatang.

Lihatlah kepada derajat yang sangat tinggi yang diraih oleh Abu Bakar As-Siddiq yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keimanan yang sesungguhnya. Ia membenarkan seluruh perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa keraguan sedikitpun.

عن عائشة رضي الله عنها قالت ثم لما  أسري  بالنبي  صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال من المشركين إلى أبي بكر رضي الله عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه   أسري  به الليلة إلى بيت المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن   يصبح  فقال نعم إني لأصدقه ما هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبا بكر الصديق رضي الله عنه

Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam isro’ (dijalankan oleh Allah) menuju ke Masjdil Aqsho, maka dipagi harinya orang-orang membicarakan hal itu. Orang-orang yang tadinya beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkannya murtad (keluar dari Islam). Beberapa orang dari kaum musyrikin menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menemui sahabatmu (yaitu Rasulullah), dia menyangka bahwa dirinya tadi malam dijalankan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho)?”. Abu Bakar berkata, “Apakah dia mengatakan demikian?”, mereka berkata, “Iya”. Abu Bakar berkata, “Jika ia memang mengatakan demikian maka dia telah jujur!”. Mereka berkata, “Apakah engkau membenarkan perkataannya bahwa dia tadi malam pergi ke Baitul Maqdis kemudian tiba kembali (ke Mekah) sebelum subuh?”, Abu Bakar berkata, “Iya, (bahkan) saya membenarkannya pada perkara yang lebih (aneh) dari pada perkara ini. Saya membenarkannya tentang berita yang ia terima dari langit di pagi hari atau di sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan As-Siddhiq (yang selalu membenarkan)”[6]

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال صلى رسول الله  صلى الله عليه وسلم  صلاة الصبح ثم أقبل على الناس فقال بينا رجل يسوق   بقرة  إذ ركبها فضربها فقالت إنا لم نخلق لهذا إنما خلقنا للحرث فقال الناس سبحان الله   بقرة  تكلم فقال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثم وبينما رجل في غنمه إذ عدا   الذئب  فذهب منها بشاة فطلب حتى كأنه استنقذها منه فقال له   الذئب  هذا استنقذتها مني فمن لها يوم السَّبُعِ يوم لا راعيَ لها غيري فقال الناس سبحان الله ذئب يتكلم قال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثَمَّ

Dari Abu Hurairoh berkata, “Rasulullah ÷ sholat subuh kemudian beliau menghadap para jemaah sholat lalu berkata, “Tatkala seseorang menggembala seekor sapi, kemudian diapun menunggangi sapi tersebut dan memukul sapi tersebut. Sapi itupun berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah diciptakan untuk ini (untuk ditunggangi), namun aku hanyalah diciptakan untuk membajak.” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, sapi berbicara??”. Rasulullah ÷ berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman.” Berkata Abu Hurairah, “Dan tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak ada (tidak bersama mereka sholat subuh-pen)”. Rasulullah ÷ berkata, “Dan tatkala seorang penggembala sedang menggembalakan kambing-kambingnya tiba-tiba datang serigala dan membawa lari seekor kambingnya. Maka sang penggembalapun mengejar serigala tersebut dan sepertinya dia berhasil membebaskan kambing tersebut dari cengkraman serigala. Sang serigala tersebut berkata kepada sipenggembala, “Engkau telah membebaskan kambing itu dariku, maka siapakah yang akan menunggui (memperhatikan) kambing ini selain aku pada hari dimana singa datang mengambil kambing ini?[7]” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, serigala berbicara?”, Nabi ÷ berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman”. Berkata Abu Hurairah, “Tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir”[8]

Berkata Ibnu Hajar, “Kemungkinan Rasulullah ÷ mengatakan demikian (padahal Abu Bakar dan Umar tatkala itu tidak hadir-pen) karena Rasulullah ÷ tahu akan besarnya keimanan mereka berdua dan kuatnya keyakinan mereka”[9]. Beliau juga berkata, “…Dan kemungkinan juga beliau berkata demikian karena mereka berdua akan membenarkan khabar tersebut jika mereka mendengarnya dengan tanpa keraguan”[10]

Coba seandainya kita sampaikan hadits ini kepada orang-orang yang mengagungkan akal mereka, tentu kita akan dapati banyak diantara mereka yang menolak hadits ini. Mungkin diantara mereka akan ada yang berkata “Bagaimana hewan bisa berbicara?, mana akalnya?”, ataupun diantara mereka ada yang mengatakan “Hadits ini lemah karena tidak masuk akal, meskipun dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari!!.”[11]

Padahal Allah mampu untuk melakukan semuanya, jangankan hewan yang masih memiliki otak dan lisan bahkan tangan dan kakipun serta kulit yang tidak berotak dan tidak berlisan akan berbicara pada hari kiamat sebagaimana firman Allah:

﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾ (يّـس:65)

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. 36:65)

﴿وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾ (فصلت:21)

Dan mereka berkata kepada kulit mereka:”Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami”. Kulit mereka menjawab:”Allah yang telah menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. 41:21)

Apakah mereka menolak ayat-ayat ini karena menurut mereka tidak masuk akal??

Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka adab yang paling tertinggi terhadap Rasulullah ÷ adalah pasrah menerima apa yang datang dari Nabi ÷, mematuhi dan menjalankan perintahnya, menerima dan membenarkan berita yang datang dari Nabi ÷ tanpa mempertentangkannya dengan khayalan yang batil yang dinamakan “masuk akal” atau menolaknya karena syubhat atau ragu atau mendahulukan pendapat orang-orang dan kotoran-kotoran otak mereka diatas berita yang datang dari Nabi ÷…”[12]

Di zaman sekarang ini banyak orang yang menolak hadits Rasulullah ÷ dengan alasan bertentangan dengan akal. Apakah mereka lupa bahwa Nabi ÷ tidaklah berbicara kecuali dengan bimbingan Allah?? Apakah akal mereka yang lemah itu hendak mereka gunakan untuk menimbang kebenaran berita yang datang dari Nabi ÷??.

Ternyata apa yang mereka lakukan merupakan warisan dari nenek moyang mereka para mu’tazilah yang mengagungkan akal mereka

Ibnu Abdilbar tatkala menjelaskan tentang pendapat yang tercela beliau berkata, “…Karena mereka menggunakan akal mereka dan qiyas-qiyas (yang batil) untuk menolak hadits-hadits Nabi r hingga mereka mencela hadits-hadits yang masyhur yang telah mencapai derjat mutawatir seperti hadits-hadits tentang syafa’at dan mereka mengingkari seseorang bisa keluar dari neraka setelah masuk ke dalamnya, mereka mengingkari haud (telaga Nabi r), mizan (timbangan), ‘adzab kubur, dan yang lainnya seperti perkataan-perkataan mereka tentang sifat-sifat Allah…”[13] . Maksud beliau adalah orang-orang mu’tazilah

Penolakan terhadap hadits-hadits Nabi ÷ semakin banyak jika hadits-hadits tersebut berkaitan dengan perkara-perkara goib. Mereka yang menentang hadits-hadits Nabi tersebut mengukur kebenaran hadits Nabi ÷ dengan akal mereka yang lemah. Mereka mengqiaskan (mengukur) perkara yang ghoib dengan hal-hal yang mereka lihat di alam nyata. Tentunya ini adalah kesalahan yang sangat fatal karena akal yang sehatpun tidak menerima bahwa alam ghaib disamakan dengan alam nyata. Inilah yang telah menimpa para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang musyrik yang menolak dengan akal mereka berita isro’nya Nabi ÷ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho dalam satu malam. Demikianlah syaitan senantiasa menggelincirkan umat ini dari jalan kebenaran.

Lihatlah perkataan Umar bin Al-Khottob yang telah dijamin masuk surga, yang syaitan tidak berani bertemu dengannya, yang telah diberi oleh Allah kecerdasan dan ilmu yang tinggi, lihatlah perkataan beliau:

قال يا أيها الناس اتهموا الرأي على الدين فلقد رأيتني أرد أمر رسول الله  صلى الله عليه وسلم  برأيي اجتهادا فوالله ما آلو عن الحق وذلك يوم أبي جندل والكتاب بين رسول الله  صلى الله عليه وسلم  وأهل مكة فقال اكتبوا بسم الله الرحمن الرحيم فقالوا ترانا قد صدقناك بما تقول ولكنك تكتب باسمك اللهم فرضي رسول الله  صلى الله عليه وسلم  وأبيت حتى قال لي رسول الله  صلى الله عليه وسلم  تراني أرضى وتأبى أنت قال فرضيت

“Wahai manusia sekalian, curigailah pemikiran kalian dalam permasalahan agama[14]. Sungguh aku telah membantah perintah Rasulullah ÷ dengan pendapatku (pemikiranku) karena aku berijtihad. Demi Allah aku bersungguh-sungguh (berijtihad dengan pemikiranku itu) untuk menuju kepada kebenaran. Hal itu terjadi pada waktu kejadian Abu Jandal[15], tatkala buku di antara Rasulullah ÷ dan penduduk Mekah (yaitu orang-orang musyrik), lalu Rasulullah ÷ berkata, “Tulislah Bismillahirrohmanirrahim!”, mereka berkata, “Apakah engkau mengira kami telah membenarkan engkau (adalah utusan Allah)?, tapi engkau tulis saja “Bismikallahumma”. Lalu Rasulullah ÷ rela dengan hal itu, adapun aku tidak setuju, hingga Rasulullah ÷ berkata kepadaku “Engkau melihat aku telah ridha (setuju) lantas engkau enggan?”. Umar berkata, “Maka akupun rela”[16]

Ungkapan seperti ini juga diucapkan oleh para sahabat yang lain, diantaranya Sahl bin Hunaif, beliau berkata:

أيها الناس اتهموا أنفسكم فإنا كنا مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يوم الحديبية ولو نرى قتالا لقاتلنا فجاء عمر بن الخطاب فقال يا رسول الله ألسنا على الحق وهم على الباطل فقال بلى فقال أليس قتلانا في الجنة وقتلاهم في النار قال بلى قال فعلام نعطي الدنية في ديننا أنرجع ولما يحكم الله بيننا وبينهم فقال يا بن الخطاب إني رسول الله ولن يضيعني الله أبدا فانطلق عمر إلى أبي بكر فقال له مثل ما قال للنبي  صلى الله عليه وسلم  فقال إنه رسول الله ولن يضيعه الله أبدا فنزلت سورة الفتح فقرأها رسول الله  صلى الله عليه وسلم  على عمر إلى آخرها فقال عمر يا رسول الله أو فتح هو قال نعم

“Wahai manusia sekalian, curigailah diri kalian, sesungguhnya kami bersama Rasulullah ÷ pada waktu terjadi perjanjian Hudaibiyah[17] dan jika menurut kami adalah berperang maka kami akan berperang. Lalu datanglah Umar bin Al-Khottob dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kebatilan?”, Rasulullah ÷ menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita (jika kita memerangi mereka) masuk surga dan orang-orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka?”, Rasulullah ÷ menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Jika demikian, lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?, apakah kita kembali ke Madinah padahal Allah belum memutuskan perkara antara kita dengan mereka?”. Nabi ÷ berkata, “Wahai Ibnul Khottob, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya”. Lalu Umar pergi ke Abu Bakar dan ia berkata kepadanya apa yang telah dikatakannya kepada Nabi ÷, Abu Bakarpun berkata kepaanya, “Sesungguhnya ia adalah utusan Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya selamanya”. Lalu turunlah surat Al-Fath dan Rasulullah ÷ membacakannya kepada Umar hingga akhir surat, lalu berkata Umar, “Wahai Rasulullah, apa itu adalah Al-Fath (kemenangan kita di Mekah kelak)?”, Nabi ÷ menjawab, “Iya”[18]

Ali bin Abi Tholib berkata,

لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يمسح على ظاهر خفيه

“Jika seandainya agama itu (hanya sekedar) bersandar dengan akal maka bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap (tatkala wudlu-pen) daripada bagian atas khuf. Sungguh aku telah melihat Rasulullah ÷ mengusap bagian atas kedua khufnya”[19]

Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah[20],

فيا ليت شعرى بأي عقل يوزن الكتاب والسنة فرضى الله عن الإمام مالك بن أنس حيث قال أو كلما جاءنا رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل الى محمد لجدل هؤلاء

“Seandainya saya tahu dengan dengan akal siapakah hendak ditimbang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ÷?, Semoga Allah meridhai Imam Malik bin Anas tatkala beliau berkata, “Apakah setiap datang orang yang lebih pandai bedebat daripada orang yang lain lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad ÷ karena kepandaian debat mereka??”[21]

 

Peringatan

Berkata Ibnu Hajar, “Dan pendapat jika bersandar kepada dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah atau ijma’ maka ia terpuji, dan jika tidak demikian maka ia adalah pendapat yang tercela”[22]


[1] Al-Muhalla 1/61, dan atsar ini dishahihkan oleh Ibnu Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/57

[2] Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro 10/115. Lihat juga Al-Mustadrok 4/106, As-Sunan An-Nasai 8/230. Ibnu Hazm menyatakan bahwa riwayat ini lemah dan beliau mengatakan, “Kemudian jika riwayat ini shahih maka makna dari perkataan Ibnu Mas’ud maka maksud dari perkataan beliau “Hendaknya ia berijtihad dengan pendapatnya” yaitu ia bersungguh-sungguh hingga ia mendapatkan sunnah tentang perkara yang ia hadapi. Hal ini ditunjukan dengan perkataan beliau “Dan janganlah ia berkata “Sesungguhnya aku takut…, sesungguhnya menurutku…” dan ini merupakan larangan untuk berfatwa dengan akal, demikian juga perkataan beliau “Tinggalkanlah apa yang engkau ragukan kepada apa yang tidak kau ragukan”, dan perkataan beliau, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang samara”, maka Ibnu Mas’ud hanyalah memerintahkan ia untuk bersikap waro’ dan untuk mencari dalil” (Al-Ihkam 6/211)

[3] Fthul Bari 13/289

[4] I’tiqod Ahlis Sunnah 1/123

[5] Fthul Bari 13/289

[6] Diriwayatkan oleh Al-Hakim 3/62 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria persyaratan Imam Bukhari dan Muslim dan keduanya tidak mengeluarkan hadits ini (dalam kitab shahih mereka). Dan beliau disepakati oleh Ad-Dzahabi. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya (As-Shahihah no 306)

[7] Maksud dari perkataan serigala ini adalah “Engkau wahai penggembala kambing yang telah merebut kembali kambingmu dariku, sesungguhnya engkau suatu saat akan lari tatkala datang singa menerkam kambing ini dan engkau tidak bisa menyelamatkannya, lalu singa tersebut memakan kambing itu hingga puas kemudian akulah sendiri yang berada (menunggui/memperhatikan kambing itu) hingga selesai singa itu makan, lalu aku memakan kambing yang tersisa dari lahapan singa.” (Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663)

[8] HR Al-Bukhari no 3471, dan dalam tempat-tempat yang lain no 2324,  3663, dan 3690

[9] Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663

[10] Fathul Bari 6/634, penjelasan hadits no 3471

[11] Jangankan hadits yang ini bahkan hadits yang tidak aneh saja mereka tolak sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dimana Rasulullah ÷ bersabda :

قال النبي  ÷ إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء

“Jika sesekor lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah ia memebenamkan lalat tersebut (dalam minumannya) kemudia mengeluarkan lalat tersebut karena pada salah satu sayap lalat tersebut ada racun dan pada sayap yang lain ada obat”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Abu Dawud no 3844, Ibnu Majah no 3503, Ahmad no 7353, 7562, 8642, 9024, 9157, 9719, 11205, Ibnu Hibban no 1246, 1247, 5250, Ibnu Khuzaimah no150 (1/56),  An-Nasai (Al-Kubro) no 4588 (3/88), Al-Baihaqi no 1122, 1125. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Juga dirwayatkan dari Anas bin Malik sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dengan para perawi yang tsiqoh sebagaimana perkataan Ibnu Hajar (Al-Fath 10/308 syarh hadtis no 5782) dari riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsanna dari paman beliau Tsumamah bahwasanya pamannya tersebut menyampaikan kepadanya seraya berkata,

كنا عند أنس فوقع ذباب في إناء فقال أنس بأصبعه فغمسه في ذلك الإناء ثلاثا ثم قال بسم الله وقال أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أمرهم أن يفعلوا ذلك

“Kami bersama Anas, lalu jatuh seeokr lalat di sebuah cangkir maka Anaspun mneclupkan lalat tersebut dengan jarinya dalam cangkir tersebut tiga kali kemudian ia berkata “Bismillah” dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah ÷ memerintahkan mereka (para sahabat) untuk melakukannya”

Sebagian mereka ada yang berkata mengomentari hadits ini, “Saya mengambil perkataan Dokter yang kafir dan saya tidak menerima perkataan Rasulullah !!!”

Oleh karena itu jangan tertipu dengan perkataan orang yang menolak hadits ini dengan dalih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan riwayat-riwayat Abu Hurairah masih perlu diteliti dan dipertanyakan. Ketahuilah bahwa seandainya Abu Hurairah sendiri yang meriwayatkan hadits ini maka kita harus menerimanya karena dia adalah seorang sahabat yang pernah didoakan oleh Rasulullah agar kuat hapalannya. Apalagi jika hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik –semoga Allah meridhoi mereka-.

Berkata Al-Khottobi  هذا مما ينكره من لم يشرح الله قلبه “Hadits ini diantara hadits-hadits yang diingkari oleh orang yang tidak dilapangkan dadanya oleh Allah” (Umdatul Qori 21/293)

[12] Madarijus Salikin 2/387

[13] Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/289

[14] Berkata Ibnu Hajar, “Yaitu janganlah kalian beramal dalam perkara agama dengan hanya sekedar mengandalkan otak dengan tanpa bersandar kepada dalil dari agama” (Fathul Bari 13/353, syarh hadits no7308)

[15] Maksudnya adalah tatkala terjadi perundingan Hudaibiyah.  Berkata Ibnu Hajar, “Disebut kejadian Abu Jandal karena kejadian yang paling genting tatkala itu adalah kisah Abu Jandal” (Fathul Bari 6/338 syarah hadits no 3181). Lihat kisah Abu Jandal dan jalannya perundingan Hudaibiyah secara lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas kejadiannya sebagai berikut:

Nabi ÷ bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah (Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi ÷ dan para sahabatnya sampai dan singgah di Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi ÷ bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah siap siaga untuk memerangi Rasulullah ÷ dan para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi ÷pun berkata,

إنا لم نجئ لقتال أحد ولكنا جئنا معتمرين وإن قريشا قد نهكتهم الحرب وأضرت بهم فإن شاؤوا ماددتهم مدة ويخلوا بيني وبين الناس فإن أظهر فإن شاؤوا أن يدخلوا فيما دخل فيه الناس فعلوا وإلا فقد جموا وإن هم أبوا فوالذي نفسي بيده لأقاتلنهم على أمري هذا حتى تنفرد سالفتي ولينفذن الله أمره

“Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerang seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh. Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka (sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.

Akhir cerita akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi ÷.

فجاء سهيل بن عمرو فقال هات اكتب بيننا وبينكم كتابا فدعا النبي  صلى الله عليه وسلم  الكاتب فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  بسم الله الرحمن الرحيم قال سهيل أما الرحمن فوالله ما أدري ما هو ولكن اكتب باسمك اللهم كما كنت تكتب فقال المسلمون والله لا نكتبها إلا بسم الله الرحمن الرحيم فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  اكتب باسمك اللهم ثم قال هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فقال سهيل والله لو كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك ولكن اكتب محمد بن عبد الله فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  والله إني لرسول الله وإن كذبتموني اكتب محمد بن عبد الله (وفي رواية: وكان لا يكتب، فقال لعلي: “امْحُ رسولَ الله”، فقال علي: “والله ر أمحاه أبداً”. قال: “فأرِنِيه”. فأراه إياه فمحاه النبي ÷ بيده) فقال له النبي  صلى الله عليه وسلم  على أن تخلوا بيننا وبين البيت فنطوف به فقال سهيل والله لا تتحدث العرب أنا أخذنا ضغطة ولكن ذلك من العام المقبل فكتب فقال سهيل وعلى أنه لا يأتيك منا رجل وإن كان على دينك إلا رددته إلينا قال المسلمون سبحان الله كيف يرد إلى المشركين وقد جاء مسلما فبينما هم كذلك إذ دخل أبو جندل بن سهيل بن عمرو يرسف في قيوده وقد خرج من أسفل مكة حتى رمى بنفسه بين أظهر المسلمين فقال سهيل هذا يا محمد أول ما أقاضيك عليه أن ترده إلي فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  إنا لم نقض الكتاب بعد قال فوالله إذا لم أصالحك على شيء أبدا قال النبي  صلى الله عليه وسلم  فأجزه لي قال ما أنا بمجيزه لك قال بلى فافعل قال ما أنا بفاعل قال أبو جندل أي معشر المسلمين أرد إلى المشركين وقد جئت مسلما ألا ترون ما قد لقيت وكان قد عذب عذابا شديدا في الله

Lalu datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi ÷ “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, maka Nabi ÷ memanggil penulis (yaitu Ali bin Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis “bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim, lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi ÷) berkata, “Demi Allah kami tidak akan menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi ÷ berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian beliau ÷ memerintahkan untuk menulis “Ini adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu, tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi ÷ berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi ÷ tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali, “Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya selamanya”. Nabi ÷ berkata, “Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun memperlihatkannya kepada Nabi ÷, lalu Nabi ÷ pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak (bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa (mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu (Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya, ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku!”. Nabi ÷ berkata, “Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan perundingan damai denganmu”. Nabi ÷ berkata, “Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan membiarkannya bersamamu!”. Nabi ÷ berkata, “Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. Berkata Abu Jandal, “Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik (Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan Allah.

فقال عمر بن الخطاب فأتيت نبي الله  صلى الله عليه وسلم  فقلت ألست نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال إني رسول الله ولست أعصيه وهو ناصري قلت أو ليس كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف به قال بلى فأخبرتك أنا نأتيه العام قال قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به قال فأتيت أبا بكر فقلت يا أبا بكر أليس هذا نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال أيها الرجل إنه لرسول الله  صلى الله عليه وسلم  وليس يعصي ربه وهو ناصره فاستمسك بغرزه فوالله إنه على الحق قلت أليس كان يحدثنا أنا سنأتي البيت ونطوف به قال بلى أفأخبرك أنك تأتيه العام قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به

Umar berkata,”Akupun mendatangi Nabi ÷ lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Nabi ÷ berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Nabi ÷ berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?”. Nabi ÷ berkata, “Aku adalah Utusan Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi ÷ berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata, “Tidak”. Nabi ÷ berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata, “Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, Umdatul Qori 14/3-14)

Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi ÷ di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi ÷ bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi ÷ dan Abu Bakar) untuk merendahkan orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar yang seperti jawaban Nabi ÷, hal ini merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353)

[16] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir  1/72 dan Al-Bazzar dalam musnadnya 1/254